Friday, September 19, 2008

Kemenangan dengan Tauhid

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam berkata kepada sahabat Mu'adz ibnu Jabal, "Maukah kuberitahukan padamu pokok amal, tiang, serta puncaknya?" Mu'adz menjawab, "Mau, ya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam." Beliau bersabda, "Pokok amal adalah Islam dan tiang-tiangnya adalah sholat, dan puncaknya adalah jihad." (HR Tirmidzi)

Tidak diragukan lagi bahwa jihad adalah amalan yang tertinggi, puncak ketinggian Islam. Jihad adalah salah satu prinsip dari prinsip-prinsip aqidah al islamiyyah. Dengan berjihad berarti menjadikan agama seluruhnya untuk Allah, mencegah kezholiman dan menegakkan yang haq, memelihara kemuliaan kaum muslimin dan menolong kaum mustadh'afin. Allah berfirman, "Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah." (QS Al Anfaal: 39).

Sebaliknya dengan berjihad juga berarti menghinakan musuh-musuh Allah, mencegah kejahatannya, menjaga kehormatan kaum muslimin, dan menghancurkan kaum kafirin. Allah berfirman, "Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar." (QS At Taubah: 29).

Jihad adalah jalannya para salafush sholih dalam rangka menghadang permusuhan kaum kuffar, munafiqin, dan mulhidin, serta seluruh musuh-musuh agama. Di samping itu mereka juga berjihad dengan tujuan memperbaiki keadaan kaum muslimin dalam hal aqidahnya, akhlaqnya, adabnya, dan seluruh urusan-urusan agamanya dan dunianya serta mentarbiyah ilmu dan amalnya.

Sebagai seorang muslim tentunya kita meyakini dalam hati bahwa pertolongan adalah janji bagi ahli iman. Allah berfirman, "Dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman." (QS Ar Ruum: 47). Kita juga meyakini bahwa Allah pasti menolong hamba-hamba-Nya yang menjadi penolong agama-Nya. Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu." (QS Muhammad: 7).

Itulah janji Allah dan Allah tidak akan menyelisihi janji-Nya. Allah berfirman, "Dan siapakah yang lebih menepati janjinya selain daripada Allah?" (QS At Taubah: 111). Dengan demikian menjadi kewajiban atas setiap muslim ialah mengetahui apa yang mesti dilakukan dalam rangka mengambil sebab yang dengan itu akan membuahkan pertolongan Allah -dengan keyakinan bahwa kemenangan dan pertolongan Allah hanya akan diraih oleh orang-orang yang ahli untuk menerimanya-.

Para pembaca -rahimakumullah-, pertolongan Allah tidak akan turun dengan kita hanya berkoar-koar di atas mimbar, menghitung-hitung kekuatan musuh. Pertolongan Allah tidak akan datang dengan hanya mengumpulkan jumlah orang banyak dengan bermacam-macam latar belakang aqidah dan pemahaman. Kemenangan dan pertolongan Allah akan sangat jauh bila menuruti caranya orang-orang bodoh dengan berdemonstrasi di jalan-jalan, lebih-lebih berdemonstrasi sebagai upaya menegakkan syariat Islam!!!

Mengharapkan pertolongan Allah bukanlah dengan cara berkhayal dan berangan-angan semata, bukan pula hanya dengan semangat yang hampa. Allah berfirman, "(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak pula menurut angan-angan ahli kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak pula penolong baginya selain dari Allah." (QS An Nisaa: 123).

Para pembaca -yang semoga dirahmati Allah-, ketahuilah bahwa persiapan yang paling besar bagi orang-orang yang beriman dalam rangka membangun kekuatan atas musuh-musuhnya ialah hendaknya berhubungan dengan Allah melalui tauhid, kecintaan, pengharapan, takut, dan senantiasa kembali padanya, serta khusyu' dan tawakkal. Selalu berada di sisi-Nya dan mencukupkan dari selain-Nya.

Allah berfirman, "Orang-orang kafir berkata kepada rasul-rasul mereka: Kami sungguh-sungguh akan mengusir kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami. Maka Tuhan mewahyukan kepada mereka: Kami pasti akan membinasakan orang-orang yang zholim itu dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu adalah untuk orang-orang yang takut akan menghadap kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku." (QS Ibrohim: 13-14).

Mereka adalah para ahli tauhid yang murni yang Allah telah menjanjikan atas mereka kemenangan, keamanan, dan khilafah. Allah berfirman, "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhoi-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar keadaan mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku." (QS An Nuur: 55).

Apakah kita kaum muslimin telah benar-benar memperhatikan syarat yang agung ini: "... menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku"? Inilah yang mesti diketahui dan ditegakkan oleh orang-orang yang mempunyai kedua penglihatan.

Ingatlah! Tatkala sekelompok kaum mu'minin dari para sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam keluar menuju perang Hunain di mana sebagiannya mereka baru masuk Islam. Ketika sampai di sebuah pohon yang disebut Dzaatu Anwaath, mereka melihat kaum musyrikin menggantungkan senjata-senjatanya pada pohon itu dalam rangka meminta berkah. Mereka berkata, "Wahai Rasulullah, buatkanlah untuk kami Dzaatu Anwaath seperti halnya mereka." Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam menjawab, "Allahu Akbar!", dalam riwayat lain, "Subhanallah! Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh kalian telah mengatakan seperti perkataan kaum Musa padanya (Musa AS): Buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala), sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)." (QS Al A'raaf: 138), (HR Ahmad).

Perhatikanlah hadits ini dimana keislaman mereka yang masih baru tidak menghalangi Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam untuk mengingkarinya dari satu kalimat yang akan menjerumuskan kepada kesyirikan. Jumlah mereka yang banyak, rapi siap untuk bertempur memerangi orang-orang kafir tidak menghalangi Nabi Shalallahu ‘alaihi Wassalam untuk mencegah / meluruskan kesalahan mereka yang sifatnya aqidah. Jadi sama sekali tidak boleh mengesampingkan haq Allah untuk diibadahi dengan tauhid karena ini syarat yang paling agung. Jika tidak maka akan lenyaplah jihad itu.

Semoga para pembaca masih ingat, bagaimana kaum muslimin mendapatkan kemenangan yang gemilang atas kaum Tartar setelah mereka memperbaiki aqidahnya dan membuktikan tauhidnya kepada Allah AWJ. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Dan ketika kaum muslimin mulai memperbaiki urusan-urusannya, benar dalam beristighotsah kepada Rabbnya, maka mereka mendapatkan kemenangan atas musuh-musuhnya dengan kemenangan yang mulia.

Sebaliknya, kaum Tartar mengalami kekalahan dengan kekalahan yang tak pernah mereka alami sebelumnya.

Ketika pembuktian tauhid yang benar kepada Allah dan taat kepada Rasul-Nya, sesungguhnya Allah akan menolong Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari didatangkannya saksi-saksi." Ini menunjukkan bahwa pertolongan dan kemenangan di muka bumi tidak akan dapat diraih kecuali setelah menancapkan agama yang benar di dalam jiwa. Dan Allah berfirman, "Sesungguhnya Aku beserta kamu. Sesungguhnya jika kamu mendirikan sholat dan menunaikan zakat serta beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah pinjaman yang baik." (QS Al Maidah: 12).

Dan Allah juga berfirman, "Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaannya yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia." (QS Ar Ra'd: 11).

Alangkah baiknya jika penulis menukil wasiatnya Umar ibnu Abdil Aziz, sebagaimana diriwayatkan oleh Al Imam Abu Nu'aim dalam Al Hilyah (5/303) dari jalan Ibnul Mubarok dari Maslamah ibnu Abi Bakroh dari seorang laki-laki dari Quraisy, bahwa Umar ibnu Abdil Aziz berwasiat kepada sebagian pekerjanya, "Hendaklah engkau bertaqwa kepada Allah di tempat mana saja Engkau berada. Sesungguhnya taqwa kepada Allah adalah persiapan yang paling baik, makar yang paling sempurna, dan kekuatan yang paling dahsyat.

Dan janganlah karena kebencian musuhmu kepadamu menjadikanmu dan orang-orang yang bersamamu menjadi lebih perhatian padanya daripada maksiat-maksiat kepada Allah. Sesungguhnya yang paling Aku takutkan atas manusia adalah dosa-dosanya daripada makar-makar musuhnya. Karena kita membenci musuh-musuh dan menang atas mereka disebabkan karena kemaksiatan-kemaksiatan mereka, jika bukan karena itu kita tak punya kekuatan karena jumlah mereka tak seperti jumlah kita, kekuatan mereka tak seperti kekuatan kita. Jika kita tidak dimenangkan atas mereka karena kebencian kita, kita takkan dapat mengalahkan mereka dengan kekuatan kita.

Dan janganlah karena permusuhan seseorang dari manusia menjadikan kalian lebih perhatian padanya daripada dosa-dosa kalian. Ketahuilah bahwa bersama kalian para malaikat Allah yang menjaga kalian, mengetahui apa yang kalian lakukan di rumah-rumah dan di perjalanan kalian, maka malulah dari mereka, perbaikilah kebersamaan kalian dengan mereka, janganlah kalian sakiti mereka dengan maksiat-maksiat kepada Allah sedang kalian mengira bahwa kalian fi sabilillah.

Janganlah kalian katakan bahwa musuh-musuh kita lebih jelek keadaannya daripada kita dan mereka takkan pernah menang atas kita sekalipun kita banyak dosa. Berapa banyak kaum yang dihinakan dengan sesuatu yang lebih jelek dari musuh-musuhnya karena dosa-dosanya. Mintalah kalian pertolongan kepada Allah atas diri-diri kalian, sebagaimana kalian minta pertolongan pada-Nya atas musuh-musuh kalian. Kita memohon yang demikian untuk kita dan kalian..."


Demikianlah sebagian dari wasiatnya Umar ibnu Abdil Aziz yang memacu kita kaum muslimin untuk senantiasa bermuhasabah atas diri-diri kita. Dan di akhir tulisan ini penulis ingin mengingatkan kembali bahwa Allah SWT menggantungkan pertolongan-Nya atas taqwa, sabar, dan perbaikan hubungan dengan-Nya melalui tauhid. Allah berfirman, "Jika kamu bersabar dan bertaqwa niscaya tipu daya mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudhorotan kepadamu." (QS Ali Imron: 120).

"Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertaqwa dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda." (QS Ali Imron: 125).

"Jika kamu bersabar dan bertaqwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan." (QS Ali Imron: 186).

Walhamdu lillahi rabbil 'alamin.


Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

KEMAKSIATAN, MENCERMINKAN HILANGNYA WIBAWA UMAT ISLAM

Tidak diragukan lagi bahwa kehinaan dan malapetaka yang ditimpakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala itu disebabkan karena banyak manusia lalai, merasa tidak bersalah jika melaksanakan dosa dan kemaksiatan. Mereka pun pura-pura tidak tahu bahwa yang demikian itu akan menyebabkan turunnya ancaman dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman :

"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia, agar Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali kepada jalan yang benar." (Ar-Rum : 41)

Kemuliaan kaum musliminpun terpuruk dikarenakan penganutnya acuh tak acuh terhadap agamanya, yang halal menjadi haram dan sebaliknya, yang haram menjadi halal. Akibat dari semua itu dosa dan kemaksiatan menjadi sarapan pagi, siang dan malam harinya …… Wallahu Musta'an.

Umar Ibnul Khaththab berkata, "Sesungguhnya kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah Ta’ala dengan Islam, walau bagaimanapun kita pasti menginginkan kemuliaan tersebut, tapi jika tanpa Islam, maka Allah akan menghinakan kita." (dishahihkan oleh Al-Hakim dan disepakati oleh Imam Adz-Dzahabi)

Dari perkataan seorang khalifah ini, jelaslah kehancuran dan kehinaan kaum muslimin akan didapat jika lalai dan meninggalkan agamanya. Maka hendaklah seluruh kaum muslimin sadar akan hal ini dan mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkan dari dosa dan kemaksiatannya serta hal-hal yang akan menyebabkan ia berbuat dosa.

Adapun dampak yang ditimbulkan dari dosa dan maksiat adalah sebagai berikut :

• Sesungguhnya dengan dosa dan maksiat akan melemahkan hati dari keinginannya. Sedikit demi sedikit keinginan untuk melakukan kemaksiatan akan menguat, dan keinginan untuk bertobat akan melemah hingga akhirnya akan hilang keinginan hati untuk bertaubat secara keseluruhan.

• Seseorang akan terus melakukan perbuatan dosa dan maksiat, sehingga ia akan menganggap remeh dosa tersebut. Kalau sudah demikian maka akan datang kehancuran, sebab dosa yang dianggap remeh adalah besar di sisi Allah Ta’ala. Ibnu Mas'ud radliyallahu anhu berkata, "Sesungguhnya seorang mukmin tatkala melihat dosanya seakan-akan ia berada di pinggir gunung yang ia takut gunung itu akan menimpa dirinya. Dan sesungguhnya seorang yang fajir tatkala melihat dosanya, seperti seekor lalat yang hinggap di hidungnya lalu membiarkannya terbang." (HR. Bukhari)

• Sesungguhnya dosa dan maksiat akan menghilangkan rasa malu, yang merupakan tonggak kehidupan hati, pokok dari segala kebaikan, apabila hilang rasa malu maka lenyaplah kebaikan. Nabi shalallahu alaihi wa sallam bersabda: "Malu adalah kebaikan seluruhnya." (HR. Bukhari Muslim)

• Disebabkan dosa dan maksiat, Allah Ta’ala akan melupakan hamba-Nya dan meninggalkannya, maka terjadilah kehancuran yang tidak diharapkan.
Masih banyak dampak dan akibat yang ditimbulkan dari dosa dan kemaksiatan yang harus dijauhi oleh setiap kaum muslimin…. Dengan kembali kepada agamanya, kembali kepada al-Kitab dan as-Sunnah, berpegang teguh kepada keduanya untuk mengembalikan 'izzul Islam wal muslimin (Kemuliaan Islam dan Muslimin).

Wallahu A'lam bishawab
KEBIASAAN MELAKUKAN ONANI
Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Ada seseorang yang berkata ; Apabila seorang lelaki perjaka melakukan onani, apakah hal itu bisa disebut zina dan apa hukumnya ?

Jawaban.
Ini yang disebut oleh sebagian orang kebiasaan tersembunyi dan disebut pula jildu umairah dan istimna' (onani). Jumhur ulama mengharamkannya, dan inilah yang benar, sebab Allah Subhanahu wa Ta'ala ketika menyebutkan orang-orang Mu'min dan sifat-sifatnya berfirman.

Artinya : Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki ; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas [Al-Mu'minun : 5-7]

Al-Adiy artinya orang yang zhalim yang melanggar aturan-aturan Allah.

Di dalam ayat di atas Allah memberitakan bahwa barangsiapa yang tidak bersetubuh dengan istrinya dan melakukan onani, maka berarti ia telah melampaui batas ; dan tidak syak lagi bahwa onani itu melanggar batasan Allah.

Maka dari itu, para ulama mengambil kesimpulan dari ayat di atas, bahwa kebiasaan tersembunyi (onani) itu haram hukumnya. Kebiasaan rahasia itu adalah mengeluarkan sperma dengan tangan di saat syahwat bergejolak. Perbuatan ini tidak boleh ia lakukan, karena mengandung banyak bahaya sebagaimana dijelaskan oleh para dokter kesehatan.

Bahkan ada sebagian ulama yang menulis kitab tentang masalah ini, di dalamnya dikumpulkan bahaya-bahaya kebiasan buruk tersebut. Kewajiban anda, wahai penanya, adalah mewaspadainya dan menjauhi kebiasaan buruk itu, karena sangat banyak mengandung bahaya yang sudah tidak diragukan lagi, dan juga betentangan dengan makna yang gamblang dari ayat Al-Qur'an dan menyalahi apa yang dihalalkan oleh Allah bagi hamba-hambaNya.

Maka ia wajib segera meninggalkan dan mewaspadainya. Dan bagi siapa saja yang dorongan syahwatnya terasa makin dahsyat dan merasa khawatir terhadap dirinya (perbuatan yang tercela) hendaknya segera menikah, dan jika belum mampu hendaknya berpuasa, sebagaimana arahan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Artinya : Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kamu yang mempunyai kemampuan hendaklah segera menikah, karena nikah itu lebih menundukkan mata dan lebih menjaga kehormatan diri. Dan barangsiapa yang belum mampu hendakanya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya [Muttafaq Alaih]

Di dalam hadits ini beliau tidak mengatakan : Barangsiapa yang belum mampu, maka lakukanlah onani, atau hendaklah ia mengeluarkan spermanya, akan tetapi beliau mengatakan : Dan barangsiapa yang belum mampu hendaknya berpuasa, karena puasa itu dapat membentenginya.

Pada hadits tadi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan dua hal, yaitu :

Pertama.
Segera menikah bagi yang mampu.

Kedua.
Meredam nafsu syahwat dengan melakukan puasa bagi orang yang belum mampu menikah, sebab puasa itu dapat melemahkan godaan dan bisikan syetan.

Maka hendaklah anda, wahai pemuda, ber-etika dengan etika agama dan bersungguh-sungguh di dalam berupaya memelihara kehormatan diri anda dengan nikah syar'i sekalipun harus dengan berhutang atau meminjam dana. Insya Allah, Dia akan memberimu kecukupan untuk melunasinya.

Menikah itu merupakan amal shalih dan orang yang menikah pasti mendapat pertolongan, sebagaimana Rasulullah tegaskan di dalam haditsnya.

Artinya : Ada tiga orang yang pasti (berhak) mendapat pertolongan Allah Azza wa Jalla : Al-Mukatab (budak yang berupaya memerdekakan diri) yang hendak menunaikan tebusan darinya. Lelaki yang menikah karena ingin menjaga kesucian dan kehormatan dirinya, dan mujahid (pejuang) di jalan Allah [Diriwayatkan oleh At-Turmudzi, Nasa'i dan Ibnu Majah]

[Fatawa Syaikh Bin Baz, dimutl di dalam Majalah Al-Buhuts, edisi 26 hal 129-130]


[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syariyyah Fi Al-Masail Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 406-409 Darul Haq]

Kekeliruan Berpakaian Dalam Shalat

Seorang muslim sudah seharusnya memahami setiap perkara penting yang menyangkut agamanya, terutama yang bersifat fardhu 'ain, seperti shalat.

Salah satu masalah yang terkait dengan shalat dan kurang mendapat perhatian dari sebagian kaum muslimin adalah tentang pakaian di dalam shalat. Masih banyak di antara mereka yang belum faham tentang pakaian yang dianjurkan, yang dilarang dan yang dibenci jika pakai pada waktu shalat.

Dalam edisi ini kami turunkan sebuah pembahasan tentang beberapa kekeliruan berpakaian di dalam shalat yang kami ambil dari kitab “al-Muhkam al- Matin” , ringkasan dari kitab “al-Qaul al-Mubin fi Akhta’ al Mushallin” karya syaikh Masyhur bin Hasan al-Salman.

Di antara kekeliruan tersebut adalah:

Shalat dengan pakaian ketat

Memakai pakaian ketat dalam shalat adalah makruh dalam tinjauan syar'i dan tidak baik dari segi kesehatan. Jika ketika memakainya sampai tingkat meninggalkan shalat (dengan alasan susah untuk melakukan gerakan ini dan itu), maka hukum memakainya menjadi haram. Dan terbukti bahwa kebanyakan orang yang memakai celana ketat adalah mereka yang tidak shalat atau jarang melakukannya.

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata, "Celana panjang (ketat, red) itu membentuk aurat, dan aurat laki-laki adalah dari lutut sampai pusar. Seorang yang sedang shalat harus semaksimal mungkin menjauhi segala kemaksiatan ketika dia sedang sujud, yakni dengan terlihat bentuk kedua pantatnya (karena sempitnya celana itu-red), atau bahkan membentuk aurat yang ada di antara keduanya (kemaluan). Maka bagaimana orang seperti ini berdiri di hadapan Rabb seru sekalian alam?

Jika celana yang dipakai adalah longgar maka menurut Syaikh al-Albani tidak apa-apa, namun yang lebih utama adalah dengan mengenakan gamis (baju panjang) hingga menutupi lutut, atau setengah betis dan boleh dijulurkan maksimal hingga mata kaki.

Shalat dengan pakaian tipis atau asal-asalan

Tidak boleh shalat dengan pakaian tipis yang menampakkan anggota badan, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang di masa ini. Dengan sengaja memakainya maka berarti sengaja memperlihatkan bagian auratnya yang seharusnya tertutup. Mereka telah tergiring oleh syahwat sehingga menjadi pengikut mode dan adat, mereka juga telah terbius oleh para penyeru permisivisme yang membolehkan manusia berkreasi dan melakukan apa saja tanpa mengindah kan norma dan aturan syari'at.

Masuk kategori shalat dengan pakaian asal-asalan adalah shalat memakai piyama atau baju tidur. Suatu ketika Rasululah n ditanya oleh seseorang tentang shalat dengan memakai satu pakaian (misal: celana panjang saja tanpa memakai baju atau memakai gamis tanpa mengenakan celana-red), maka beliau menjawab, "Bukankah masing masing kalian mendapati dua pakaian?

Abdullah Ibnu Umar ra melihat Nafi’ shalat sendirian dengan memakai satu pakaian, maka dia berkata kepada Nafi’," Bukankah aku memberikan untukmu dua pakaian? Nafi' menjawab, "Ya, benar.” Maka Ibnu Umar bertanya, “Apakah engkau ketika keluar ke pasar hanya dengan satu pakaian?” Nafi' menjawab,” Tidak." Maka Ibnu Umar berkata, “Sungguh berhias untuk Allah adalah lebih berhak (dilakukan)."

Maka dengan demikian orang yang shalat dengan baju tidur termasuk dalam kategori ini, karena tentu dia akan merasa malu apabila bepergian atau ke pasar dengan memakai piyama tersebut.

Dan bagi wanita, shalat dengan pakaian yang tipis urusannya lebih berat dari pada laki-laki. Maka jangan sampai para wanita shalat dengan pakaian yang terbuat dari kain yang tipis atau transparan, karena meskipun menutup seluruh tubuh namun tetap memperlihatkan kulit dan badannya.

Shalat dengan aurat terbuka

Masalah terbukanya aurat ini terjadi pada beberapa klasifikasi manusia:

-Pertama; Seseorang mengenakan celana ketat yang membentuk lekuk tubuh (aurat) kemudian memakai baju yang pendek, sehingga ketika rukuk atau sujud pakaiannya tersingkap, maka kelihatan bagian bawah punggungnya dan bentuk auratnya karena ketatnya celana yang dipakai dan pendeknya baju.

Maka dengan pakaian seperti ini berarti dia membuka auratnya, padahal dia sedang rukuk dan sujud di hadapan Allah swt, semoga Allah menjaga kita semua dari hal itu. Terbukanya aurat dalam keadaan shalat dapat menyebabkan batalnya shalat, dan inilah salah satu efek negatif mengimpor pakaian dari negri kafir.

Ke dua;Orang yang tidak sungguh-sungguh menutup auratnya dan tidak berusaha semaksimal mungkin menutupinya, padahal sebenarnya dia mampu. Hal ini biasanya karena faktor kebodohan, malas dan ketidakpedulian seseorang dalam menutup auratnya.

Perhatian juga kepada para wanita, jangan sampai shalat dalam keadaan sebagian rambutnya terlihat, atau tidak tertutup keseluruhannya. Jangan pula tersingkap lengan atau betisnya. Karena menurut jumhur (mayoritas) ulama kalau sampai demikian, maka hendaknya ia mengulang shalatnya tersebut. Hal ini berdasarkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sayyidah Aisyah ra bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, artinya,
"Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah mengalami haid (baligh) kecuali dengan mengenakan tutup kepala (khimar)."

Salah satu pakaian yang dikhawatirkan menjadi sebab terbukanya aurat wanita adalah jilbab kecil yang sangat memungkinkan apabila shalat dengan tanpa tutup lain yang lebih lebar akan tersingkap bagian rambutnya.

Ke tiga; Orang tua yang mengajak shalat anak-anak mereka yang sudah cukup besar (usia di atas tujuh tahun) hanya dengan pakaian seadanya, seperti memakaikan celana pendek untuk mereka.

Shalat dalam keadaan isbal ( khusus pria )

Banyak sekali dalil yang menjelaskan haramanya isbal, baik ketika shalat maupun di luar shalat. Namun masih banyak kaum muslimin yang kurang perhatian dengan masalah ini, padahal ada sebuah riwayat marfu' dari Abu Hurairah yang menyebutkan bahwa Allah tidak menerima shalat seseorang yang musbil (menjulurkan pakaiannya di bawah mata kaki). Hadits ini dinyatakan hasan oleh An-Nawawi di dalam kitab Riyadhus Shalihin dan oleh Ahmad Syakir dalam ta'liqnya terhadap kitab Al Mahalli. Namun berdasar penelitian, hadits tersebut adalah dha'if karena rawi dari tabi'in adalah majhul (tidak dikenal). Andaikan hadits tersebut shahih, maka amat banyak kaum muslimin yang berada dalam bahaya besar karena melakukan shalat dalam keadaan isbal. Namun tetap saja shalat dengan kondisi isbal adalah sebuah kesalahan, sehingga meskipun shalatnya sah, pelakunya mendapatkan dosa.

Menyingsingkan atau melipat lengan baju

Termasuk kesalahan dalam pakaian shalat adalah menyingsingkan atau melipat lengan baju ketika akan shalat.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, dia berkata, "Rasulullah bersabda, "Aku diperintahkan untuk sujud di atas tuju anggota badan, tidak menahan rambut dan menyingsingkan pakaian."

Shalat dengan pundak terbuka

Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah bersabda, "Jangan sekali-kali salah seorang di antara kalian shalat hanya dengan satu pakaian tanpa adanya penutup sedikit pun di atas pundaknya." (HR Muslim).
Larangan di atas menunjukkan atas makruhnya hal itu, bukan keharamannya. Sebab jika seseorang telah menutup auratnya, maka shalatnya sah meskipun tidak meletakkan sesuatu di atas pundaknya, namun perbuatan ini dibenci.

Shalat dengan pakaian yang bergambar.

Diriwayatkan dari Aisyah ra dia berkata, Suatu ketika Rasulullah shalat dengan memakai qamishah (gamis) yang terdapat gambar, tatkala selesai shalat beliau bersabda, "Bawalah qamishah ini kepada Abu Jahm bin Khudzaifah dan bawakan untukku anbijaniyah, karena qamishah tadi telah mengganggu shalatku."

Anbijaniyah adalah jenis kain yang agak tebal yang tidak bermotif dan tidak ada gambar(kain polos).
Dari Anas Radhiallaahu anha dia berkata, Aisyah ra pernah memasang sehelai kain untuk menutup salah satu dinding sisi rumahnya. Maka Nabi n bersabda kepadanya, " Singkirkan dia dariku karena selalu terlintas dalam pandanganku ketika aku melakukan shalat."

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat dengan memakai pakaian yang bergambar, dan jumhur fuqaha (mayoritas ahli fikih) menganggap hal tersebut makruh.
Imam Malik ditanya tentang cincin stempel yang bergambar (orang atau hewan-pen), Apakah boleh dipakai dan shalat dengannya? Beliau menjawab, “Tidak boleh dipakai dan tidak boleh shalat dengannya.” Adapun uang atau koin dengan gambar manusia maka membawanya ketika shalat menurut as-Samarqandi tidak apa-apa karena kecil dan tersimpan/tertutup.

Shalat dengan pakaian kuning.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr ra bahwa Rasulullah melihat dua pakaian dicelup (diwenter) dengan warna kuning, maka beliau bersabda, "Sesungguhnya itu termasuk pakaian orang kafir, maka engkau jangan memakainya."
Dari Anas ra dia berkata, "Rasulullah melarang seseorang untuk mewarnai bajunya dengan warna kuning (za'faran, semisal warna kunyit-red).
Dan dalam hadits yang bersumber dari Ali ra dia berkata, "Rasulullah n melarang pakaian mu'ashfar (yang di celup dengan warna kuning)."
Ada pun bagi wanita maka tidak apa-apa mengenakan pakaian dengan warna tersebut.

Shalat Tanpa Tutup Kepala

Apabila yang melakukan demikian adalah orang laki-laki maka dibolehkan, namun tidak dibolehkan bagi kaum wanita, karena kepala bagi seorang wanita adalah aurat. Akan tetapi yang mustahab(dianjurkan) adalah shalat dengan menutup kepala karena lebih sempurna dan pantas.

Syaikh Nashiruddin al-Albani berkata, "Saya berpendapat bahwa shalat dengan kepala terbuka adalah makruh, karena merupakan hal yang bisa diterima jika seorang muslim masuk masjid untuk shalat dengan penampilan islami yang semaksimal mungkin, berdasarkan hadits, "Sesungguhnya berhias (rapi) di hadapan Allah adalah lebih berhak (dilakukan)."

Perlu diketahui bahwa shalat dengan kepala terbuka adalah makruh, maka tidak dibenarkan seseorang tidak mau shalat dibelakang orang (imam) yang tidak memakai tutup kepala.
Wallahu a’lam bish shawab. Semoga Allah memberikan taufiq dan hidayah kepada kita semua untuk menggapai kesempurnaan Shalat. (Abu Ahmad)
Catatan: Rawi dan derajat hadits memang tidak dicantumkan, sesuai dengan yang terdapat di dalam kitab aslinya. Hal ini dikarenakan hadits yang ada di dalam kitab al-Qaul al-Mubin sudah terseleksi keshahihannya.

Jangan Mengganggu Orang Shalat

Orang yang sedang sholat berarti sedang bermunajat kepada Rabbnya, mengingat dengan menyebut-Nya, berdoa, mengagungkan dan memuji kebesaran-Nya. Maka selayaknya seorang muslim tidak mengganggu kekhusyu'an saudaranya yang sedang bermunajat tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamketika sedang beri'tikaf telah bersabda, artinya,
"Ketahuilah bahwa setiap dari kalian sedang bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah sebagian dari kalian mengganggu yang lainnya." (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan al-Albani). Dan mengganggu atau menyakiti kaum muslimin secara umum adalah perbuatan yang dilarang, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, artinya,
"Barang siapa yang mengganggu orang-orang muslim di jalan mereka maka laknat mereka pasti akan menimpanya."

Maka tidak diragukan lagi bahwa mengganggu sesama muslim di dalam masjid dan membuat keributan di sekitar orang yang sedang shalat atau sedang berdzikir adalah perbuatan yang dilarang. Perbuatan tersebut termasuk kemungkaran yang besar, karena akan menumbuhkan sikap meremehkan kemuliaan masjid dan orang-orang yang sedang beribadah di dalamnya.

Di bawah ini ada beberapa hal yang merupakan bentuk dari perilaku yang dapat mengganggu sesama muslim tatkala berada di dalam masjid. Diharapkan dengan menyebutkannya dapat menjadi peringatan bagi kita semua agar senantiasa berhati-hati dan menajuhinya.

Melangkahi Pundak

Melangkahi pundak merupakan salah satu bentuk menyakiti perasaan atau mengganggu orang yang (akan) shalat, terutama pada hari Jum'at atau di masjid yang penuh dengan jama'ah. Lebih tidak sopan lagi bila dalam mengangkat kaki sejajar atau di atas kepala jama'ah yang dia lewati. Kasus ini biasanya terjadi ketika sebelum iqamah dan shaf bagian depan telah terisi penuh atau sudah tidak ada celah lagi, sementara yang bersangkutan datang terlambat dan memaksakan diri ingin berada di shaf awal.

Suatu saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallampada hari Jum'at melihat seseorang melangkahi pundak saudaranya yang lain, maka beliau menegurnya dan bersabda, artinya, "Duduklah kamu, susungguhnya kamu telah mengganggunya."

Hadits ini merupakan hadits yang paling keras dari hadits-hadits lainnya yang menyinggung permasalahan ini, sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Fath. Dalam sebuah riwayat marfu' dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhudisebutkan dengan jelas tentang gugurnya pahala Jum'at bagi yang melangkahi pundak orang lain. Ibnu Wahab salah seorang parawi hadits tersebut menyatakan bahwa makna dari hadits ini adalah, sholat yang dilakukan hukumnya tetap sah namun dia tidak mendapatkan keutamaan Jum'at. (Fathul Bari 2/414)

Hadits di atas meskipun terjadi dalam shalat Jum'at, namun bukan berarti larangan hanya berlaku pada hari tersebut. Penyebutan dengan hari Jum'at karena pada umumnya pada hari tersebut banyak kaum muslimin yang hadir di masjid. Ini dikuatkan dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, "Sungguh engkau telah mengganggu," dan mengganggu sesama muslim dilarang setiap waktu bukan pada hari Jum'at saja.

Telah berkata al-Imam an-Nawawi, "Orang yang masuk masjid, baik pada hari Jum'at atau selainnya dilarang melangkahi tengkuk saudaranya, kecuali jika sangat terpaksa (darurat)." (al-Majmu' syarh al-Muhadzdzab 4/546)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga mengatakan, "Tidak boleh bagi siapa saja melangkahi pundak seorang muslim untuk mendapatkan shaf pertama jika di dekatnya tidak ada celah yang dapat diisi baik pada hari Jum'at atau lainnya. Karena hal itu merupakan perbuatan zhalim dan kedurhakaan kepada Allahsubhanahu wata’ala.(al-Ikhtiyarat hal 87).

Sebagian ulama mengatakan makruh perbuatan ini, dan sebagian yang lain mengharamkannya sebagaimana dikatakan al-Imam an-Nawawi dan Syaikhul Islam. Namun keharaman ini dikecualikan jika orang yang datang lebih dahulu tidak menempati shaf awal, dan membiarkan shaf depan ada celah. Maka dalam hal ini boleh seseorang melangkahi pundak dalam rangka menyempurnakan shaf dan menutup celah yang kosong. Wallahu a'lam.

Mendesak Orang Lain ketika Shalat

Tidak diragukan lagi bahwa terlalu berdesakan ketika shalat menyebabkan hilang atau berkurangnya kekhusyu'an. Pemandangan seperti ini terjadi khususnya pada hari Jum'at, ketika malam bulan Ramadhan dan semisalnya. Kesalahan ini biasanya dilakukan oleh orang yang datang terlambat namun ingin berada di shaf depan, bahkan tak segan-segan menerobos shaf dengan menggunakan kekuatan ototnya.

Terlalu berdesakan akan menyebabkan orang tidak dapat meletakkan kedua tangannya di dada dengan baik ketika shalat, dan menyebabkan saling berhimpitan terutama ketika sedang duduk atau tahiyat. Dan yang jelas sikap nylonong atau menerobos shaf yang sudah rapat adalah perbuatan merebut hak orang lain dan tidak menghormati jama'ah yang datang lebih awal. Memang benar shaf awal adalah sangat utama, namun mengganggu sesama muslim adalah perbuatan haram. Dan meninggalkan yang haram harus didahulukan daripada mengejar keutamaan.

Yang dituntut bagi seorang muslim adalah hendaknya melapangkan shaf untuk orang lain apabila memungkinkan. Jangan sampai mangambil tempat melebihi dari kebutuhannya dan merasa berat untuk memberi tempat kepada saudaranya padahal masih memungkinkan. Namun bagi yang datang lebih belakang atau terlambat juga harus bersikap toleran dan lemah lembut kepada saudaranya. Hendaknya jangan membuat sempit tempat saudaranya jika shaf tersebut memang sudah tidak mungkin lagi untuk diisi. Islam mengajarkan agar seseorang duduk di belakang atau tempat mana saja yang kosong apabila sudah tidak ada tempat lagi untuk diduduki.

Membaca al-Qur'an dengan Suara Keras

Membaca al-Qur'an di dalam masjid dengan suara keras, selain mengganggu orang yang sedang shalat juga mengganggu orang lain yang sedang membaca al-Qur'an. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan itu melalui sebuah hadits dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu ‘anhudia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamberi'tikaf di dalam masjid, beliau mendengar para shahabat membaca al-Qur'an dengan suara keras, maka beliau bersabda, "Ketahuilah sesungguhnya masing-masing dari kalian sedang bermunajat kepada Rabbnya, maka janganlah sebagian dari kalian mengganggu yang lain, dan janganlah sebagian mengeraskan suara di atas yang lain dalam membaca al-Qur'an, atau beliau bersabda, "di dalam shalat." (HR.Ahmad dan Abu Dawud)

Syaikhul Islam berkata, "Tidak boleh bagi siapa pun mengeraskan suara ketika membaca baik di dalam shalat maupun di luar shalat, terutama ketika di dalam masjid karena hal itu dapat mengganggu orang lain." Dan ketika ditanya tentang mengeraskan bacaan al-Qur'an di dalam masjid, beliau menjawab, "Segala perbuatan yang bisa mengganggu orang yang berada di dalam masjid atau yang mengarah pada perbuatan itu maka hal itu terlarang, wallahu a'lam.( al-Fatawa 23/61)

Adapun membaca dengan bersuara namun tidak terlalu keras dan tidak mengganggu orang lain maka hal itu dibolehkan sebagaimana banyak tersebut di dalam hadits. Terutama jika yang bersangkutan merasa aman dari perbuatan riya'. Bahkan bisa jadi merupakan keharusan apabila dalam rangka belajar al-Qur'an. Karena tidak diragukan lagi bahwa mengeraskan bacaan dalam kondisi ini akan menggugah hati, menambah semangat dan memberikan manfaat bagi orang lain yang mendengarkannya. (at-Tibyan, an-Nawawi hal 71)

Dalam shalat malam juga diboleh- kan mengeraskan bacaan selagi dapat menjaga diri dari riya'. Aisyahradhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar seseorang membaca sebuah surat dari al-Qur'an pada suatu malam, beliau bersabda, "Semoga Allah merahmatinya, sungguh bacaannya itu telah mengingatkanku pada ayat ini dan ini yang sebelumnya saya kira bagian dari surat ini dan ini." (HR.al-Bukhari dan Muslim).

Lewat di Depan Orang Shalat

Berjalan di depan orang shalat di antara dia dan sutrah (pembatas)nya adalah perbuatan haram, karena mengganggu dan mengacaukan konsentrasinya dalam bermunajat kepada Allah subhanahu wata’ala. Perbuatan ini dilarang dengan keras dan pelakunya mendapatkan ancaman yang sangat berat, sebagaimana dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menjelaskan bahwa berdiri selama empat puluh (hari atau bulan atau tahun, perawi tidak tahu persis-red)adalah lebih baik daripada lewat di hadapan orang yang sedang shalat.

Oleh karena itu dibolehkan bagi yang sedang shalat untuk mencegah orang yang akan melewatinya, jika sekiranya masih ada jalan lain yang memungkinkan untuk dilewati. Karena dalam sebuah hadits yang bersumber dari Abu Sa'id al-Khudri radhiyallahu ‘anhuRasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda, artinya,
"Jika salah seorang diantara kalian shalat menghadap sutrah (yang menghalangi) orang (untuk lewat), lalu ada seseorang yang mau melewatinya maka tahanlah dia. Apabila menolak maka lawanlah dia karena dia adalah syetan." (HR.al-Bukhari dan Muslim)

Berbicara Dengan Suara Keras

Hal ini terjadi ketika sekelompok orang khususnya para pemuda terlibat dalam sebuah pembicaraan. Ketika iqamah telah dikumandangkan mereka tidak segera menyelesaikan pembicaraan namun tetap melanjutkannya sehingga terlambat bertakbiratul ihram dan membaca al-Fatihah bersama imam. Ketika imam sudah mendekati rukuk barulah mereka menuju shaf untuk menyusul shalat.

Sikap ini dari satu sisi merupakan bentuk meremehkan terhadap shalat dan di sisi lain akan mengganggu saudara-saudara mereka yang sedang shalat. Jika orang yang sedang shalat sunnah diperintahkan untuk membatal kannya ketika sudah iqamah (jika diperkirakan ketinggalan takbiratul ihram,red) maka bagaimana lagi hanya sekedar mengobrol?

Memang benar seseorang yang mendapatkan ruku’ dihitung telah mendapatkan satu raka'at, namun itu bagi orang yang benar-benar telambat, bukan sengaja mengulurnya sedang dia berada di masjid dan mengetahui dimulainya shalat. Mengenai hukum orang yang melakukan perbuatan demikian maka ada perbedaan apakah dia terhitung mendapatkan raka’at atau tidak. Saya (penulis,red) lebih condong kepada pendapat yang menyatakan bahwa orang yang tidak membaca al-Fatihah karena menyepelekan dan sibuk dengan obrolan maka raka’atnya batal, sehingga tidak terhitung medapatkan satu rakaat. Karena dia telah melanggar sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, artinya, "Tidaklah dijadikan seorang imam kecuali untuk diikuti, maka jika dia bertakbir bertakbirlah kalian semua."

Dan orang tersebut tidak bertakbir setelah imam bertakbir, tidak membaca iftitah dan al-Fatihah padahal dia punya kesempatan untuk itu. Maka dengan demikian, rakaat apa yang telah dia kerjakan, dan shalat model apa yang dia lakukan?
Wallahu a’lam bish shawab

Ahwalul Muslimin Al Yaum

Ahwalul Muslimin Al Yaum
Ust. M Ihsan Arliansyah Tanjung

Tema ini adalah suatu upaya untuk menggambarkan akan keadaan dunia Islam kontemporer (saat ini) dengan segala kelebihan dan kekurangan-kekurangannya. Kondisi umat Islam saat ini penuh dengan kelemahan-kelemahan. Kelemahan-kelemahan itu terkait dengan kapasitas intelektual dan problematika moral.

Kelemahan dalam kapasitas intelektual (Al Jahlu)
Kelemahan umat Islam yang terkait dengan kapasitas intelektual meliputi:

§ Dho'fut Tarbiyah (lemah dalam pendidikan)
Kelemahan dalam aspek pendidikan formal dan informal (pengkaderan) sangat dirasakan oleh umat Islam masa kini. Jika pendidikan juga pembinaan dan pengkaderan lemah maka akan mustahil melahirkan anasir-anasir dalam nadhatul umat (kebangkitan umat).

§ Dho'fut Tsaqofah (lemah dalam ilmu pengetahuan)
Dewasa ini sedang sangat pesat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi umat Islam terasa tertinggal bila dibandingkan umat yang lainnya, ini disebabkan karena wawasan umat Islam yang sempit dan terbatas juga lemah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan ini disebabkan kemauan umat untuk menuntut ilmu sangat rendah.

§ Dho'fut Takhthith (lemah dalam perencanaan-perencanaan)
Umat Islam sekarang ini tidak memiliki strategi yang jelas. Rencana perjuangannya penuh dengan misteri. Hal tersebut disebabkan umat Islam tidak diproduk dari pembinaan-pembinaan yang baik dan tidak memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang memadai.

§ Dho'fut Tanjim (lemah dalam pengorganisasian)
Sekarang ini terjadi gerakan-gerakan yang mengibarkan bendera kebathilan, mereka membangun pengorganisasian yang solid sementara umat Islam lemah dalam pengorganisasian sehingga kebathilan akan diatas angin sedangkan umat Islam akan menjadi pihak yang kalah. Sesuai perkataan khalifah Ali ra "Kebenaran tanpa sistem yang baik akan dikalahkan oleh kebathilan yang terorganisasi dengan baik".

§ Dho'ful Amniyah (lemah dalam keamanan)
Masa kini umat Islam lemah dalam menjaga keamanan diri dan kekayaan, baik moral dan material sehingga negeri-negeri muslim yang kaya akan sumber daya alam dirampak oleh negeri-negeri non muslim. Begitu pula dengan Iman, umat lslam tidak lagi menjaganya tidak ada amniyah pada aqidah dan dibiarkan serbuan-serbuan aqidah datang tanpa ada perlindungan yang memadai.

§ Dho'fut Tanfidz (lemah dalam memobilisasi potensi-potensi diri)
Umat Islam dewasa ini tidak menyadari bahwa begitu banyak nikmat-nikmat yang Allah SWT berikan dan tidak mensyukurinya. Jika umat Islam mersyukuri segala nikmat Allah dari bentuk syukur itu akan muncul kuatut tanfidz yaitu kekuatan untuk memobilisir diri dan sekarang umat Islam lemah sekali dalam memobolisir diri apalagi memobilisir secara kolektifitas.

Kelemahan dalam problematika moral (Maradun Nafs)

Kelemahan-kelemahan dalam problematika moral yang terjadi pada umat Islam sekarang yaitu:

• Adamus Saja'ah (hilangnya keberanian)
Umat Islam tidak seperti dahulu yang berprinsip laa marhuba illalah (tiada yang ditakuti selain Allah) sehingga tidak memiliki keberanian seperti orang-orang terdahulu yakni Rasulullah dan para sahabatnya yang terkenal pemberani. Sekarang ini umat Islam mengalami penyakit Al Juban (pengecut). Rasa takut dan berani itu berbanding terbalik sehingga jika seorang umat Islam takut kepada Allah maka ia akan berani kepada selain Allah tetapi sebaliknya jika ia takut kepada selain Allah maka ia akan berani menentang aturan-aturan Allah SWT.

• Adamus Sabat (hilangnya sikap teguh pendirian)
Umat Islam mulai memperlihatkan mudah mengalami penyimpangan-penyimpangan dan perjalanan hidupnya karena disebabkan oleh :
1. termakan oleh rayuan-rayuan
2. terserang oleh intimidasi atau teror-teror.
Salah satu illutrasi hilangnya sabat (keteguhan) ini adalah prinsif-prinsif hidup kaum muslimin tidak lagi dipegang hanya sering diucapkan tanpa dipraktekan. Sebagai contoh Islam mengajarkan kebersihan sebagian dari Iman tetapi di negari-negeri kaum muslim kondisinya tidak bersih menjadi pemandangan pada umumnya.

• Adamut Dzikriyah (hilangnya semangat untuk mengingat Allah)
Dalam Islam lupa diri sebab utamanya ialah karena lupa kepad Allah. Umat Islam dzikirullah-nya lemah maka mereka kehilangan identitas mereka sendiri sebagai Al Muslimum. Sebagaimana Allah berfirman dalam Qs. Al Hasyr ayat 19 "Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik".

• Adamus Sabr (hilangnya kesabaran)
Kesabaran merupakan salah satu pertolongan yang paling pokok bagi keberhasilan seorang muslim, sesuai firman Allah Qs.2:153 "Hai orang-orang beriman mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar".
Kesabaran meliputi:
1. Ashabru bitha'at (sabar dalam ketaatan)
2. Ashabru indal mushibah (ketaatan ketika tertimpa musibah)
3. Ashabru anil ma'siat (sabar ketika menghadapi maksiat)
Sebagai umat Islam harus memiliki kesabaran ketiganya.

• Adamul Ikhlas (hilangnya makna ikhlas)
Ikhlas tidak identik dengan tulus. Tulus artinya melakukan sesuatu tanpa perasaan terpaksa padahal bisa saja orang itu ikhlas walaupun ada perasaan terpaksa. Contohnya pada seseorang yang melakukan shalat subuh yang baru saja jaga malam sehingga sanat terasa kantuk tetapi karena shalat adalah suatu kewajiban perintah Allah swt ia tetap mengerjakannya dsb.

• Adamul Iltizam (hilangnya komitmen)
Dewasa ini kaum muslimin kebanyakan tidak istiqomah berkomitmen terhadap Islam bahkan tidak sepenuhnya sadar bahwa Islam harus menjadi pengikat utama dalam hidupnya sehingga mereka banyak menggunakan isme-isme yang lain.

ADAB Shalat Tarawih Bagi Wanita

Ada seorang wanita shahabat Nabi Shalallaahu alaihi wasalam, namanya Ummu Humaid ingin mengikuti shalat bersama Rasul Shalallaahu alaihi wasalam di masjid Nabi, maka Rasulullah memberikan jawaban yang begitu indah dan berkesan, yang artinya,
"Sungguh aku tahu, bahwa engkau suka shalat bersamaku, padahal shalatmu di dalam kamar lebih baik dari pada shalatmu di rumah, dan shalatmu di dalam rumah lebih baik dari pada shalatmu di masjid kampungmu, dan shalatmu di masjid kampung lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini."
(HR. Ibnu Khuzaimah, di dalam shahihnya).

Hadits di atas bersangkut paut yang erat dengan hadits lain riwayat Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah, dari Ibnu Mas'ud Radhiallaahu anhu dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda,
"Sesungguhnya wanita adalah aurat, apabila dia keluar, maka syetan menghiasnya. Dan sedekat-dekatnya seorang wanita kepada Tuhannya adalah tatkala ia berada di bagian paling tersembunyi di rumahnya."

Berdasarkan dua hadits di atas dapat diambil pengertian, bahwa pada dasarnya keadaan paling utama seorang wanita adalah tatkala berada di tempat yang paling tersembunyi, termasuk ketika melakukan shalat. Apabila seorang wanita ingin shalat berjama'ah, termasuk tarawih, maka hendaknya memilih tempat tersendiri khusus untuk kaum wanita. Kalau mengharuskan solat di masjid yang biasa digunakan solat oleh kaum lelaki, maka hendaknya memperhatikan adab-adab dan peraturan ketika menuju ke sana. Karena tidak selayaknya seseorang ingin mencari pahala, namun dalam waktu yang sama melakukan perbuatan yang dimurkai oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala.
Di antara adab-adab yang perlu diperhatikan oleh seorang wanita ketika mengunjungi masjid (khusus-nya solat tarawih) adalah sebagai berikut:

1. Ikhlas

Hendaknya ketika berangkat ke masjid benar-benar ikhlas karena Allah. Bukan karena ingin bertemu dengan para wanita atau ibu-ibu yang lain, bukan karena ingin mendengarkan bacaan Imam, atau karena ikut-ikutan temannya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah Subhannahu wa Ta'ala, (lihat di dalam surat al-Bayyinah ayat 5).
Dan juga sabda Nabi Shalallaahu alaihi wasalam yang artinya,
"Barang siapa mendatangi masjid untuk tujuan tertentu, maka itulah yang menjadi bagiannya." (HR. Abu Daud)

2. Meminta Izin

Seorang wanita yang akan pergi ke masjid seharusnya meminta izin kepada ayah atau suaminya, berdasarkan hadits Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu dia berkata, telah bersabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, artinya:
“Janganlah kalian melarang wanita untuk mendatangi masjid, bila mereka minta izin kepada kalian." (Shahih Muslim)

Di dalam riwayat yang Muslim yang lain disebutkan,
"Apabila isteri kalian meminta izin untuk pergi ke masjid, maka berilah mereka izin."
Jika telah mendapatkan izin, silakan ke masjid, namun jika tidak diizinkan janganlah berangkat, karena taat terhadap suami lebih didahulukan daripada ibadah sunnah, demikian pula seorang putri jika tidak diizinkan ayahnya.

Selayaknya seorang suami jangan melarang istrinya pergi ke masjid, bila telah meminta izin dengan baik-baik, kecuali jika ada keadaan yang tidak mengizinkan, seperti bahaya atau gangguan di jalanan. Namun para wanita juga harus menyedari, bahwa solat mereka di rumah adalah lebih utama, dan juga keluarnya mereka ke tempat umum justru terkadang menimbulkan fitnah atau dosa.

3. Berhijab/Menutup Aurat

Jangan sampai pergi ke masjid dalam kadaan tabarruj, yakni berdandan dan seronok, sengaja memancing perhatian, berpakaian ketat serta menampakkan perhiasan atau auratnya, sebab sekali lagi harus diingat, bahwa jika wanita keluar rumah, maka syaitan menghiasnya, sehingga kelihatan menggoda dan menarik. Tabarruj adalah salah satu sifat wanita-wanita jahiliyyah yang tercela sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala , yang artinya:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj (berhias dan bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS al-Ahzab: 33)

Syarat-syarat hijab adalah:

Menutup seluruh tubuh
Tidak membentuk lekuk tubuh
Tidak pendek atau ketat
Tidak transparan
Bukan pakaian mewah untuk pamer
Tidak mengikuti mode wanita kafir
Tidak menyerupai pakaian laki laki dan
Tidak bercorak menyolok atau bergambar makhluk hidup.

4. Tidak Memakai Parfum

Parfum9wangi-wangian) merupakan salah satu penyebab fitnah dan kerosakan, bila salah dalam mempergunakannya. Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam telah melarang wanita yang menggunakan minyak wangi untuk menghadiri solat Isya', sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Muslim. Bukan sekedar itu saja, bahkan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam memberikan peringatan lebih keras lagi dalam hal ini, sebagaimana sabda beliau Shalallaahu alaihi wasalam,
"Wanita mana saja yang menggunakan parfum lalu keluar ke masjid, maka solatnya tidak di terima sebelum dia mandi." (HR. Al-Baihaqi).

Jika pergi ke masjid untuk ber-ibadah tidak boleh menggunakan parfum, maka apalagi jika perginya adalah ke tempat-tempat umum selain masjid, tentu lebih tidak boleh lagi!

Berdandan, menampakkan kecantikan dan menggunakan parfum untuk dipamerkan kepada laki-laki lain adalah kebiasaan para pelacur. Maka seorang wanita muslimah yang terhormat tidak boleh meniru-niru tingkah mereka, karena sangat beresiko dan dapat menjerumuskannya ke dalam maksiat.

5. Tidak Berkhalwat

Yakni tidak boleh jalan berduaan dengan laki-laki lain (bukan mahram) baik itu berjalan kaki maupun berduaan di dalam kereta, entah itu teman, tetangga atau pemandu pribadi sekalipun. Berdasarkan kepada hadits nabi Shalallaahu alaihi wasalam,
"Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, kecuali wanita tersebut disertai mahramnya." (HR. Muslim dari Ibnu Abbas)

Di dalam riwayat lain disebutkan, bahwa jika seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, maka pihak ke tiganya adalah syaitan.

6. Merendahkan Suara

Secara umum bukan hanya wanita saja yang diperintahkan untuk meren-dahkan suara dan tidak mengeraskannya, apalagi di dalam masjid. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya:
“Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguh-nya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS. 31:19)

Dan bagi wanita, masalah ini lebih ditekankan lagi, sehingga wanita apabila mengingatkan imam yang lupa atau salah cukup dengan menepukkan telapak tangan kanan ke punggung tangan kiri, bukan bertasbih (mengucap subhanallah).

Hendaknya wanita menjaga suaranya di hadapan kaum laki-laki, karena tidak seluruh laki-laki hatinya sehat, di antara mereka ada yang hatinya sakit, dalam artikata mudah tergoda dengan suara wanita.

Pembicaraan seorang wanita hanya dibolehkan di dalam hal-hal yang memang mengharuskan, seperti jual beli, memberikan persaksian, menjawab salam dan semisalnya. Ini pun harus diperhatikan, agar jangan sampai melembutkan suara, atau sengaja dibuat-buat supaya menarik. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya:
“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa.Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS. 33:32)

Jika wanita-wanita suci semisal istri Nabi masih diperintahkan untuk demikian, maka selayaknya para muslimah juga mencontoh mereka.

7. Menundukkan Pandangan

Para wanita hendaknya menundukkan pandangan dari laki-laki lain yang bukan mahram sebagaimana firman Allah Subhannahu wa Ta'ala, yang artinya:
“Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka.” (QS. An-Nuur: 31)

Pandangan mata, sebagaimana dikatakan Ibnul Qayyim adalah cerminan hati, jika seorang hamba dapat menundukkan pandangannya, maka ia akan dapat menundukkan syahwat dan segala kemauannya. Sebaliknya jika pandangan dibiarkan dengan bebas dan leluasa, maka syahwat akan menguasai-nya.

Jarirz pernah bertanya kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam tetang pandangan yang tidak di sengaja, maka beliau menjawab, "Palingkanlah pandanganmu." (HR Ahmad).
Dari Buraidah Radhiallaahu anhu, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah berkata kepada Ali Radhiallaahu anhu, "Wahai Ali jangan kau susul pandangan (pertama) dengan pandangan yang lain, karena untukmu hanya yang pertama, dan selebihnya bukan buatmu." (HR. Ibnu Abdul Barr)

8. Hindari Ikhtilath

Jangan sampai terjadi ikhtilath (campur baur) laki-laki dan perempuan, baik ketika di jalan, ketika masuk masjid maupun ketika balik dari masjid.

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan al-Baihaqi, dengan sanad hasan dari Hamzah bin Usaid dari ayahnya, bahwa dia mendengar Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda sedang beliau berada di luar masjid, dan kaum pemuda saat itu bercampur dengan kaum wanita di jalan, maka beliau pun bersabda kepada para wanita,
"Menepilah kalian, sesungguhnya kalian tidak ada hak di tengah jalan, hendaklah kalian semua berjalaan di tepian." (HR. Abu Daud dan Baihaqi).
Maka seketika itu para wanita menepi ke tembok.

9. Tidak Menelantarkan Anak-anak

Termasuk tanggung jawab terbesar seorang wanita (ibu) adalah mendidik dan mengawasi anak, dan kelak dia akan ditanya oleh Allah tentang tanggung jawab ini.

Apabila kepergian seorang wanita ke masjid dengan menelantarkan anak-anak, seperti menyerahkan kepada pembantu yang kurang baik akhlaknya, atau menjadikan anak berleluasa bergaul dengan teman-teman yang buruk, maka hal itu tidak dibenarkan. Karena mencegah sesuatu yang buruk (terikut-ikut kawan yang) lebih di dahulukan daripada mencari manfaat (tarawih di masjid).

10. Menjaga Adab di Masjid

Masjid adalah rumah Allah dan tempat yang sangat mulia, ketika seseorang akan memasukinya, maka harus memperhatikan dan manjaga adab-adab ketika berada di dalamnya. Di antara yang perlu diperhatikan adalah:

Menjaga kebersihan dan jangan sampai membuang kotoran di dalam masjid
Tidak mendatangi masjid ketika habis makan bawang (jering, petai dan semisalnya)
Tidak meludah di masjid, jika terpaksa hendaknya meludah di tissu, sapu tangan atau pakaian, dan jangan meludah ke arah kiblat.
Mengawasi anak-anak agar jangan merobek atau melempar-lempar mushhaf (Quran atau kitab2 yang lain)
Jangan memasukkan gambar-gambar makhluk bernyawa ke dalam masjid, baik berupa motif baju anak, mainan, majalah dan lain-lain.
Demikian semoga bermanfaat bagi kita semuanya.

Diringkasi dari: “Al-Muntaqa min Adab Shalat at-Tarawih Linnisaa”, Husain bin Ali asy Syaqrawi, kata sambutan dan penyemakan Syaikh Abdullah Ibnu Jibrin.