Friday, September 19, 2008

TAQWA - Tanda Pencapaian Akhir Puasa

TAQWA, Tangga Pencapaian Akhir Puasa

Percikan Nasehat Syekh al-Akbar di bulan Ramadhan


Ramadhan merupakan bulan suci yang menyucikan, meluruhkan berbagai kotoran jasad dan jiwa. Sejuta keutamaannya membuat orang merasa rugi jika mensia-siakan keujudannya.
Ramadhan dengan berbagai kelebihannya menjadi berharga karena ‘perintah’. Berpuasa menjadi tidak bernilai jika di satu sudut kita ‘mengejar’ keutamaan Ramadhan, namun di sudut lain kita meninggalkan aturan yang telah ditetapkan-Nya.
Seringkali terjadi jika seseorang berjalan jauh (musafir) atau sakit, ia merasa kurang enak jika berbuka. Atau merasa kurang afdhal (utama) jika berbuka. Atau merasa berat jika ia mesti membayarnya (qadaq) di lain waktu. Ia merasa rugi jika ‘kehilangan’ puasa ramadhan-nya, tapi ia tidak merasakan kasih sayang Allah telah lenyap dari jiwanya. Ia lebih mengutamakan kurnia Ramadhan daripada yang menciptakan ramadhan (Allah SwT).
Ramadhan mesti diisi dengan ketundukan dan ketaatan, dan tidak mesti dengan puasa. Apalah arti puasa yang tidak menyambut sifat Rahim Allah kepadanya dengan meninggalkan rukhshah (keringanan) yang Allah berikan kepadanya.
Allah SwT berfirman: “Allah menghendaki kemudahan untukmu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-Baqarah[2]: 185)
Rasulullah Saw bersabda:
“Sebaik-baik umatku adalah apabila pergi jauh (musafir) dia berbuka puasa dan shalat Qashar”. (HR. Thabrani)
“Sesungguhnya Allah mencintai jika kemurahan-kemurahan-Nya diambil sebagaimana Dia mencintai jika fardhu-fardhu-Nya dikerjakan. Sesungguhnya Allah mengutusku untuk menyampaikan agama yang lurus lagi mudah, yakni agama Ibrahim As”. (HR. Ibnu ‘Asakir)
“Kerjakanlah yang fardhu, terimalah keringanan (kemurahan-Nya), biarkanlah orang-orang, maka sungguh kamu dipelihara dari gangguan mereka”. (HR. Al-Khathib)
Tujuan puasa adalah meraih nilai-nilai ketaqwaan, bukan semata-mata mencari-cari keutamaan Ramadhan dengan meninggalkan kewajibannya sebagai seorang muslim. Bukanlah dengan adanya Ramadhan kita membabi buta menggapai gelimang cahayanya, tapi kita tinggalkan esensi (kegiatan) kehambaan kita kepada Allah.


Apabila kewajiban suami isteri mesti ditinggalkan dengan alasan mengejar keutamaan Ramadhan, berarti ia belum mengerti nilai ketakwaan sesungguhnya. Misalnya, seorang isteri yang menolak ajakan suaminya di bulan Ramadhan karena alasan inginn mengkhatamkan Al-Quran adalah sikap yang amat keliru.
”Universiti” Ramadhan melatih individu dan masyarakat menuju martabat ketakwaan, yakni membentuk insan yang bersikap Sami’na wa Atho’na, turut perintah dengan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi apa yang dilarangnya. Jika Ramadhan ini tidak membentuk sikap ketaqwaan, maka gagallah usaha dan susah payah perjuangan Ramadhan yang dilakukannya.
Konsep ketaqwaan sebagai matlamat terakhir Ramadhan bukanlah hanya dilakukan dalam 1 bulan, namun perjalanannya berkelanjutan. Konsep ketaqwaan adalah konsep harian bukanlah bulan Ramadhan saja. Firman Allah SwT: ‘Ayyaamam ma’duudaat’, pada hari-hari yang ditentukan (bukan bulan-bulan yang ditentukan).
Buah Ramadhan adalah kesabaran. Namun kesabaran itu tidak bernilai jika tidak didasari nilai ketaqwaan. Banyak umat lain selain Islam menyodorkan doktrin kesabaran, namun kesabarannya tiada arti di sisi Allah karena tidak didasari sikap ‘turut perintah’ terhadap konsep keselamatan.
Rasa lapar juga merupakan bagian penderitaan para Nabi dan Shalihin terdahulu yang manfaatnya teramat besar bagi madrasah pembenahan jiwa. Namun keadaan lapar itu juga tidak bererti di sisi Allah jika tidak berpijak pada sikap ‘turut perintah’. Sikap ini menjadi acuan semua ibadah kepada Allah.
Karena sikap turut perintah-lah yang menyebabkan kita menghadap ke kiblat setiap hari. Sikap inilah yang menyebabkan kita mau mencium hajar aswad, mengelilingi bangunan batu (Ka’bah), berlari-lari (Sa’i), melaparkan diri (berpuasa), dan sebagainya.
Saat seseorang kembali ke fitrah (titik asal), dikhawatirkan ia akan kembali lagi ke koordninat minus jiwa (asalnya) karena ia belum mengenal nilai-nilai ketaqwaan, yakni turut perintah. Jika kita mampu berbuat di bulan Ramadhan, mengapa di bulan lainnya tidak?
“Betapa banyak orang yang berpuasa yang tidak maraih apa-apa melainkan rasa lapar dan dahaga”, Nabi Saw mengingatkan. Karena ia tidak mampu mempersembahkan nilai ketaqwaan sesudah fitrahnya.